Wednesday, February 4, 2009

abah masih (saja) sendiri

gerimis malam ini terasa begitu lama, hingga aku harus bertahan di kampus untuk sementara waktu, aku pulang sedikit larut malam ini, mangkir satu jam dari hari biasanya, aku melihat ada tenda kecil di sebuah rumah persis pinggir jalan. lantaran gerimis masih ‘berlakon’ aku tidak hirau hiruk pikuk didalam rumah itu. aku berlalu seperti orang buang angin, sudah keluar lupa sudah, namun baunya akan tercium belakangan. pukul sepuluh malam aku melepas lelah, meremajakan otot-otot badan mengistirahatkan ragaku.
cerita subuh selalu membuatku berpikir lagi untuk selalu menunaikan kewajiban di masjid, tapi selalu saja, niat baik itu kalah set dengan bujukan syaiton nirojim. subuh itu alhamdullilah, setelah sekian lama tidak menginjakan kaki di rumah-Nya, aku bangun dan dengan ringannya melangkah.
seperti biasa, suasana subuh yang tergambarkan, dingin—yang mematikan sebagian jari jemari dan membekukan wajah—, basah, wangi dedaunan dan sepi. terlihat beberapa ibu yang mencuci pakaian dan piring di sumur umum, tapi aku-lah orangnya yang hanya memperhatikan, dan melalui mereka begitu saja. dan seperti biasa dengan tergesa-gesa langkah kaki menapaki pagi itu, rasa khawatir karena terdengar surat Al-Fatihah telah selesai dibacakan tanpa pengeras suara, kaki kanan menginjak pelataran depan masjid, hanya terlihat dua pasang sendal, aku tidak ambil pusing, terdengar suara abah—imam pada subuh ini—membaca surat pendek Ad-Dhuha.
segera aku memasuki ruang utama musholla, akh…udara dingin lenyap, berganti rasa hangat, didalam aku tidak terlalu terkejut, kali ini melihat dua sosok pria sedang berjamaah, iya, abah dan satu pria berusia sekitar tiga puluh tahun yang baru pertama kali aku lihat. pria itu tidak pernah ku jumpai di gang rumah, diwarung, apalagi musholla, aku berada tepat sebelah kiri pria tadi. tidak lama imam membungkuk dan kami mengikuti, kami bangun setelah duduk diantara dua sujud, dan bangun setelah sujud kedua. rakaat pertama pun selesai, kami tidak boleh mendahului imam, itu pesan nabi dalam pembahasan sholat berjamaah.
masuk rakaat kedua, dengan suara tua dan parau, abah membacakan surat-surat dengan pelan sekali, iya…abah ini tetangga samping rumahku, dia rajin sekali membangunkan warga dan mengingatkan agar mengutamakan sholat subuh di masjid, abah sering mengutip sabda Rasulullah S.A.W yang berbunyi:

“sholat berjamaah lebih utama daripada sholat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat"

alhamdullilah, kewajiban subuh telah selesai, abah melantunkan zikir dan tasbih, aku sempat mengikutinya, tapi karena badan terlalu lelah dan rasa kantuk yang teramat, aku berpikir untuk pulang saja sebentar lagi akan selesai, pria itu masih ada disamping abah, aku sama sekali tidak mengenalnya, perawakannya tinggi, kulitnya putih, bersih sekali, aku yakin dia bukan orang asli daerah rumahku, aku belagak tidak peduli, tapi aku penasaran, aku sempat melihat pria tadi berbicara kepada abah dan mengeluarkan secarik kertas, sementara itu rasa kantuk telah mengelayuti kedua mataku, aku pulang, keadaan masih sama, ibu-ibu tadi masih mencuci, udara dingin masih terasa. baru sepuluh langkah aku meninggalkan musholla, terdengar suara abah sedang check sound, speaker yang tadinya senyap kini berbunyi nguiiing sedikit memecah hening pagi, selang waktu terdengar abah memberi kata sambutan kepada warga yang tertidur atau sedang melakukan aktifitas lainnya, dan membaca sebuah nama, umur dan alamat tinggal, serta jam saat roh meninggalkan jasad ayah dari pria disampingku tadi.

No comments:

Post a Comment

tetangga yang mampir...